Sumatera Utara adalah provinsi yang memiliki banyak desa-desa unik dan beragam, salah satunya ialah desa Klambir lima kebon. Kelambir V Kebon merupakan salah satu desa kecil yang berada di kota Medan tepatnya di Kabupaten Deli Serdang, tempat yang penuh keberagaman banyak perbedaan yang menyatu didalam daerah kecil tersebut. Lingkungan yang sudah akrab dikatakan “tanah garapan” itu menjadi tempat tumbuh kembang dan belajar budaya serta berbagai perbedaan adat istiadat.
Seperti apa masyarakat dan budaya disana? Daerah tersebut berpenghuni mayoritas suku batak, menjadi hal yang biasa sapaan seperti kemarahan. Semua orang tentu mengetahui bahwa suku batak identik dengan suara keras dan begitu pula pemikirannya terhadap budaya.
Tanah Garapannya di Klambir Lima Kebon
Sesuai dengan sebutannya, tanah garapan hanya merupakan tanah sementara atau menumpang.
Setiap harinya orang-orang akan mempermasalahkan sebuah “tanah” walau itu hanya sepetak. Padahal apabila dikatakan secara sarkas mungkin itu bukanlah milik mereka, namun kata itu tidak berpengaruh.
Terdapat sebuah sejarah dulu kala, perang masyarakat garapan dan mafia. Kejadian ini seperti kesialan bagi masyarakat sekitar, hampir setengah tanah diambil alih oleh mafia dan digusur. Namun, bukan suku batak kalau tidak melawan.
Tiap anggota keluarga bapak dan ibu serta para pemuda melakukan pemberontakan untuk mendapatkan tanah mereka kembali. Tidak ada pertumpahan darah bukan perang namanya, demi mempertahankan tanah kelahiran seorang kepala desa harus merelakan tangannya terpotong. Itulah fakta sejarah demi mempertahankan sebuah tanah disana.
Tradisi Mangopoi Bagas di Tanah Garapan
Mangopoi bagas adalah tradisi memasuki rumah baru di Garapan. Tuan rumah akan mengundang seluruh warga untuk menghadiri acara tersebut dan menyediakan perjamuan.
Masakan khas yang dihidangkan biasanya “jagal pinahan” atau daging babi. Tradisi ini sangat dilestarikan oleh masyarakat klambir lima kebon, bagi mereka hal ini tidak boleh luntur sampai ke anak cucu dan harus diwariskan.
Hidangan wajib selain jagal yang harus disediakan ialah “Ikan Emas Arsik”, memiliki lambang dan makna yang mendalam bagi masyarakat suku batak. Ikan emas arsik tersebut harus dimasak utuh dan tidak boleh cacat, agar acara berjalan dengan lancar. Para tua-tua akan membawa doa dan memberikan sepatah dua kata untuk keluarga yang mengadakan acara Mangopoi bagas.
Kegiatan makan bersama acara adat “Mangopoi Bagas” Makna Ikan Mas Arsik di tradisi Batak
Ikan mas arsik hampir selalu ada di setiap tradisi suku batak, acar kelahiran, pernikahan, bahkan kematian pasti menghidangkan ikan emas arsik. Simbol yang dipercayai bahwa ikan emas membawa sebuah keberuntungan, dahulu para tua-tua suku batak mengatakan bahwa asal mula danau toba ialah dari seekor ikan mas. Pada acara adat “Momoholi” ikan mas dijadikan sebagai hidangan utama dengan sayur yang biasa disebut bangun bangun.
Menyajikan makanan sangatlah dipandang penting dahulunya, namun saat ini zaman sudah modern. Ikan mas arsik tetap dihindangkan tetapi untuk menjadi santapan sudah banyak nasi kotak (ayam semur atau telur dan lain-lain) yang memudarkan ciri khas dari adat istiadat.
Kolam Aceh tempat penghuni biawak
Terdapat tempat unik ditanah Garapan yang biasa disebuat “kolam Aceh” tempat para biawak berkumpul. Mengapa dinamakan kolam aceh? Karena merupakan kolam yang digali oleh seorang pendatang dari Aceh ketika perang perebutan tanah.
Kolam ini awalnya dijadikan wisata oleh warga sekitar dan menjadi tempat bermain keluarga. Masyarakat menjadi memiliki moment untuk bertukar cerita dan menambah rasa kepedulian, setiap keluarga membawa makanan lebih untuk dibagikan dengan warga yang lain.
Seperti namanya bahwa kolam tersebut berpenghuni biawak, memang banyak sekali biawak yang sering bermunculan ketika warga melakukan rekreasi. Namun warga menganggapi dengan tenang, mereka beranggapan bahwa “kita tidak mengganggu makan dia tidak akan merasa terancam”.
Walaupun pernyataan itu kurang tepat tapi memang biawak tidak menyerah, sekedar hanya menampakkan diri saja. Sehingga dibudayakan untuk tetap melestarikan kolam aceh dan tidak mengganggu biawak di dalamnya.
Mulainya pemerataan penduduk di Klambir Lima Kebon
Semakin tahun pastinya semakin banyak penduduk baru dengan suku, agama dan golongan yang berbeda. Saat ini desa Klambir lima kebon tidak lagi di duduki oleh masyarakat suku batak saja, namun suku nias, batak karo, jawa dan papua sudah menyatu di desa tersebut. Dari perubahan penduduk ini menciptakan budaya baru antar para penduduk. Orang suku nias menikahi gadis batak, anak gadis karo mangoli dengan lajang suku batak toba dan banyak pencampuran nikah yang sudah terjadi.
Tanah garapan yang dulunya banyak tumbuhan serta pohon rindang, saat ini sudah dipenuhi oleh rumah-rumah warga.
Namun di beberapa titik masih terdapat masyarakat yang menutup diri terhadap perubahan penduduk ini, mereka memilih menjalani hari dengan individu mengacuhkan nilai dan norma yang sudah disepakati bersama.
Itulah saja deskripsi singkatnya tentang adanya Desa Klambir Lima Kebon, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Semoga saja memberikan wawasana bagi kalian yang membutuhkanya.